Kerajaan Kediri - Poin 100
Keberadaan internet membuat siapa saja bisa mengakses berbagai informasi, maka tidak heran belakangan ini banyak sekali betebaran situs-situs yang membahas mengenai Kerajaan Kediri. Hal ini sangat logis mengingat di era pandemi ini, masyarakat kita lebih sering melakukan proses belajar mengajar secara daring. Baiklah sudah cukup basa-basinya, yuk langsung masuk ke pembahasan saja.
Penjelasan Lengkap Kerajaan Kediri
Jika anda telah belajar mengenai Kerajaan Medang Kamulan atau Kerajaan Wangsa Isyana , maka Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan dari kerajaan tersebut.
Kerajaan Kediri juga dikenal dengan Kerajaan Panjalu yang merupakan sebuah kerajaan dengan corak Hindu di Jawa Timur antara tahun 1042-1222.
Pusat pemerintahan kerajaan berada di kota Daha yang sekarang terletak di daerah kota Kediri. Namun sebelum kerajaan ini berdiri, kota Daha sudah muncul terlebih dahulu.
Daha sendiri merupakan sebuah singkatan dari kata Dahanapura yang memiliki arti Kota Api. Penamaan tersebut tercantum dalam sebuah prasasti yang bernama prasasti Pamwatan keluaran Airlangga pada tahun 1042.
Hal tersebut juga sesuai dengan berita yang termuat dalam Serat Calon Arang yang mengatakan bahwa, diakhir pemerintahan Airlangga, pusat pemerintahan kerajaan sudah pindah ke Daha.
Kerajaan Kediri merupakan salah satu bagian dari pecahan kerajaan Kahuripan di tahun 1045, dan pada saat itu letak Kerajaan Kediri berada di bagian selatan Kerajaan Kahuripan.
Di akhir bulan November pada tahun 1042, Airlangga terpaksa untuk membagi wilayah kerajaannya karena kedua putranya saling memperebutkan tahta kerajaan.
Kedua putra Airlangga bernama Sri Samarawijaya yang memeperoleh kerajaan barat bernama Panjalu.
Dengan pusatnya yang ada di Kota Baru (Daha) dan Mapanji Garasakan yang memperoleh kerajaan timur bernama Jenggala dengan pusatnya berada di kota lama, yaitu Kahuripan.
Tak ada bukti yang jelas mengenai pembagian kerajaan tersebut. Namun dalam sebuah prasasti yang bernama Babad menyebutkan bahwa kerajaan dibagi menjadi 4 atau 5 bagian.
Namun, dalam perkembangannya hanya dua kerajaan saja yang sering disebutkan, yakni kerajaan Kediri (Panjalu) dan Jenggala.
Pewaris sah dari kerajaan yang bernama Samarawijaya mendapatkan bagian ibukota lama yakni Dahanaputra, serta mengubah nama kerajaan menjadi Panjalu atau yang dikenal dengan Kerajaan Kediri.
Dalam perkembangannya, Kerajaan Kediri tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin terpuruk.
Konon hal itu disebabkan karena Kerajaan Jenggala berhasil ditaklukan oleh Kerajaan Kediri.
Pendapat Nagarakretagama menyebutkan bahwa sebelum kerajaan dibagi menjadi dua bagian, Kerajaan yang dipimpin oleh Airlangga telah bernama Panjalu dengan pusatnya yang berada di Daha.
Sehingga, Kerajaan Jenggala merupakan pecahan dari Kerajaan Panjalu.
Adapun nama Kahuripan diambil dari nama dari kota lama yang telah ditinggalkan oleh Airlangga, lalu berubah menjadi ibukota Janggala.
Pada awalnya, nama Panjalu memang lebih sering digunakan dibandingkan dengan nama Kediri. Hak tersebut juga didukung dengan beberapa prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kediri.
Bahkan, nama dari Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina yang berjudul Ling wai tai ta (1178).
Awal Mula Berdirinya Kerajaan Kediri
Wilayah kekuasaan dari Kerjaan Kediri merupakan bagian selaran dari Kerajaan Kahuripan. Hingga kini, tak banyak yang mengetahui mengenai peristiwa di masa awal berdirinya Kerajaan Kediri.
Pada tahun 1116-1136 raja Kameswara menikahi Dewi Kirana yang merupakan puteri dari Kerajaan Janggala. Dengan demikian, berakhirlah masa Kerajaan Jenggala yang kembali dipersatukan dengan Kerajaan Kediri.
Seiring bertambahnya waktu, Kerajaan Kediri tumbuh berkembang menjadi besar dan cukup kuat diwilayah Jawa.
Pada masa ini juga dituliskan sebuah kitab bernama Kakawin Smaradahana yang juga dikenal dalam kesusastraan Jawa sebagai cerita Panji.
Beberapa pakar menyebutkan, bahwa arti dari nama Kediri berasal dari kata “Kedi” yang bermakna “Mandul” atau “Wanita yang tidak berdatang bulan”.
Sedangkan menurut kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, “Kedi” memiliki makna Orang Kebiri Bidan atau Dukun.
Dalam perlakonan wayang, sang arjuno juga sempat menyamar menjadi guru tari di Negara Wirata yang bernama “Kedi Wrakantolo”.
Sehingga bila dihubungkan dengan salah seorang tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng, “Kedi” memiliki arti Suci atau Wadad.
Sedangkan, kata “diri” memiliki arti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau menjadi Raja (bahasa Jawa Jumenengan).
Maka dari itu, dapat pula kita temukan dalam prasasti “WANUA” tahun 830 saka yang berbunyi:
” Ing Saka 706 cetra nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban” yang berarti pada tahun saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban.
Nama dari Kediri sendiri banyak terdapat dalam kesusatraan Kuno yang menggunakan bahasa Jawa Kuno, diantaranya: Kitab Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama serta Kitab Calon Arang.
Sama halnya dengan prasasti lain yang juga menyebutkan nama Kediri di dalamnya, seperti: Prasasti Ceber berangka tahun 1109 saka yang berada di Desa Ceker, yang sekarang telah berubah menjadi Desa Sukoanyar Kecamatan Mojo.
Di dalam prasati tersebut juga disebutkan, bahwa penduduk Ceker juga berjasa kepada Raja, sehingga mereka memperoleh hadiah berupa “Tanah Perdikan”.
Tak hanya itu, dalam prasasti itu juga tertulis “Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri” yang memiliki arti raja sudah kembali kesimanya, atau harapannya di dalam Bhumi Kadiri.
Prasasti Kamulan yang berangkat tahun 1116 saka di Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek, dan menurut Damais, tepatnya pada tanggal 31 Agustus 1194, prasasti itu menyebutkan nama Kediri diserang oleh seorang raja dari kerajaan sebelah timur.
“Aka ni satru wadwa kala sangke purnowo”, maka dari itu raja meninggalkan istananya yang beradad di Katangkatang (“tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri”).
Kemudian, Tatkala Bagawantabhari mendapatkan anugerah berupa tanah perdikan dari seorang Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang juga tertulis dalam ketiga prasasti yang bernama Harinjing.
Pada awalnya, Kediri merupakan sebuah kerajaan kecil yang kemudian berkembang dan berubah namanya menjadi Kerajaan Panjalu yang besar dan dikenal sampai sekarang.
Silsilah Kerajaan Kediri
Dalam perkembangannya, Kerajaan Kediri sempat dipimpin oleh 8 orang raja. Namun dari 8 raja tersebut, yang mampu membawa Kerajaan Kediri kepada masa keemasan adalah Prabu Jayabaya yang namanya sangat terkenal hingga sekarang.
Kedelapan orang raja yang sempat beridiri, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Sri Jayawarsa
Dalam prasasti Sirah Keting (1104 M) menyebutkan bahwa raja Sri Jayawarsa sempat memerintah Kerajaan Kediri.
Pada masa pemerintahan beliau, raja Sri Jayawarsa pernah memberikan hadiah kepada rakyat desa kerajaan sebagai tanda penghargaan, karena rakyatnya berjasa kepada sang raja.
Dalam prasasti itu juga disebutkan bahwa raja Sri Jayawarsa sangatlah perhatian kepada rakyatnya dan berupaya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
2. Sri Bameswara
Selama memerintah, Raja Bameswara banyak meninggalkan prasasti yang banyak ditemukan di daerah Tulung Agung dan Kertosono.
Dalam prasasti yang ditemukan, kebanyakan menceritakan mengenai masalah keagamaan, sehingga dapat disimpulkan juga keadaan pemerintahannya sangatlah baik.
3. Prabu Jayabaya
Pada masa kepemimpinan Prabu Jayabaya lah Kerajaan Kediri mengalami puncak kejayaan.
Strategi pemerintahan yang digunakan Prabu Jayabaya untuk kemakmuran rakyatnya sangatlah mengagumkan. Pada saat itu, ibukota kerajaan terletak di Dahono Puro.
Dahono Puro merupakan daerah yang berada di bawah kaki Gunung Kelud dengan tanah yang sangat subur, sehingga segala macam tanaman dapat tumbuh menghijau.
Hasil dari perkebunan serta pertanian melimpah ruah. Di tengah-tengah kota juga terdapat aliran Sungai Brantas yang airnya sangat bening dan banyak terdapat ikan yang hidup di dalamnya.
Dari hasil bumi tersebut, juga diekspor ke kota Jenggala, dekat Surabaya menggunakan perahu dengan menyusuri sungai.
Roda perekonomian pada saat itu sangatlah lancar, sehingga Kerajaan Kediri mendapat medapat julukan sebagai negara yang “Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja”.
Jayabaya memerintah kerajaan sejak tahun 1130 hingga 1157 Masehi. Selain itu, bidang spiritual dan material pada masa Jayabaya juga tak tanggung-tanggung.
Beliau memiliki sikap yang bijaksana dan adil terhadap rakyat serta sangat merakyat dan menjalankan visinya yang menjadikan Prabu Jayabaya layak dikenang sepanjang masa.
4. Sri Sarwaswera
Kisah dari raja Sri Sarwaswera tercantum dalam sebuah prasasti bernama Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161).
Beliau merupakan raja yang taat beragama dan berbudaya serta memegang teguh prinsip “tat wam asi” yang memiliki arti “dikaulah itu, dikaulah (semua) itu, semua makhluk adalah engkau”.
Menurut pendapat dari sang raja, tujuan dari hidup manusia yang terakhir adalah moksa, yang berarti pemanunggalan jiwatma dengan paramatma.
Jalan yang benar merupakan sesuatu jalan yang mengarah kepada kesatuan, sehingga segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah hal yang tidak benar.
5. Sri Aryeswara
Kisah Sri Aryeswara termuat dalam prasasti Angin (1171). Beliau merupakan seorang raja yang memerintah sekitar tahun 1171.
Ia memiliki gelar abhisekanya yaitu Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara Arijamuka.
Dalam prasasti itu tidak dijelaskan kapan Sri Aryeswara diangkat menjadi raja dan kapan masa pemerintahannya berakhir. Dalam masa pemerintahannya, ia meninggalkan prasasti Angin yang bertuliskan tanggal 23 Maret 1171.
Pada saat itu, lambang dari Kerajaan Kediri adalah Ganesha. Menurut prasasti, raja yang memerintah setelah Sri Aryeswara adalah Sri Gandra.
6. Sri Gandra
Sri Gandara memerintah Kerajaan Kediri pada tahun 1181 M yang termuat dalam prasasti Jaring yang di dalamnya juga menceritakan mengenai penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti seperti nama gajah, kebo, dan juga tikus.
Nama dari hewan-hewan tersebut menggambarkan tingkat tinggi rendahnya pangkat seseorang di dalam wilayah kerajaan.
7. Sri Kameswara
Raja Sri Gandra memerintah pada tahun 1182 yang dapat kita ketahui di dalam prasasti ceker dan juga Kakawin Smaradhana.
Dalam pemerintahannya sejak tahun 1182 hingga 1185 Masehi, bidang seni sastra mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Contohnya Empu Dharmaja yang telah mampu mengarang kitab Smaradhana. Bahkan pada masa pemerintahannya juga dikenal cerita-cerita panji seperti cerita Panji Semirang.
8. Sri Kertajaya
Sri Kertajaya memerintah kerajaan pada tahun 1190 sampai 1222 Masehi yang termuat dalam beberapa prasasti seperti: prasasti Galunggung (1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, serta Pararaton.
Sri Kertajaya juga dikenal sebagai “Dandang Gendis”. Dalam masa pemerintahannya, kestabilan dari kerajaan menurun.
Hal itu dikarenakan Kertajaya ingin mengurangi hak-hak dari kaum Brahmana. Sontak hal tersebut ditentang oleh kaum Brahmana.
Pada waktu itu, kedudukan dari kaum Brahmana semakin tidak aman, sehingga banyak yang kabur menuju Tumapel yang pada saat itu dipimpin oleh Ken Arok.
Saat Raja Kertajaya mengetahui hal tersebut, ia mempersiapkan pasukan untuk segera menyerang Tumapel.
Sementara itu, Tumapel yang dimpin oleh Ken Arok mendapat dukungan penuh oleh kaum Brahmana untuk balik melakukan serangan ke Kerajaan Kediri.
Dan kemudian kedua pasukan tersebut bertemu di dekat Ganter pada tahun 1222 M.
Letak Kerajaan Kediri
Letak Kerajaan Kediri berada di Jawa Timur, dengan pusatnya yang ada di kota Daha yang sekarang dikenal dengan nama Kota Kediri.
Sebelum berpusat di Daha, Kerajaan Kediri berada di wilayah Kahirupan. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan di dalam sebuah prasasti keluaran tahun 1042 dan berita Serat Calon Arang.
Kitab atau Sistem Perundang-undangan Kediri
Sistem Perundang-undangan yang digunakan oleh Kerajaan Kediri pada waktu itu disusun oleh seorang ahli hukun yang sudah tergabung dalam Dewan Kapujanggan Istana.
Sebelum melakuan tugasnya, para pakar hukum akan melakukan studi banding dalam hal mengenai penyusunan hukum serta konstitusi dari negeri lain.
Dari hasil studi banding tersebut, terciptalah sebuah produk hukum yang bernama Kitab Darmapraja.
Kitab tersebut adalah karya pustaka yang di dalamnya berisi Tata Tertib Penyelenggaraan Pemerintahan dan Kenegaraan.
Dalam soal pengadilan, sang Raja selalu mengikuti Undang-undang yang terdapat dalam kitab tersebut, sehingga nantinya akan adil dalam menentukan keputusan yang akan diambil, serta dapat membuat puas semua pihak (Brandes, 1896:88).
Dalam kitab tersebut, pasal-pasal kitab yang terdapat kata “agama” ditafsirkan menjadi Undang-undang atau Kitab Perundang-undangan.
Kadang yang membuatnya berbeda adalah perumusannya saja, sebab yang satu lebih panjang dibandingkan yang lain serta merupakan kelengkapan sekaligus penjelasan dari pasal sejenis yang pendek.
Kitab Perundang-undangan Agama merupakan kitab utama mengenai Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun disamping itu, juga tedapat Undang-undang Hukum Perdata.
Tata cara jual-beli, pembagian warisan, pernikahan dan perceraian masuk dalam Undang-undang Hukum Perdata (Hazeu, 1987:87).
Memang, pada masa Kerajaan Kediri belum terdapat perincian tegas antara Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Perdata.
Namun, menurut sejarah per Undang-undangan Hukum Perdata yang tumbuh dari Hukum Pidana.
Jadi percampuran Hukum Perdata dan juga Hukum Pidana dalam Kitab Perundang-undangan Agama di atas bukanlah suatu keganjilan ditinjau dari segala segi sejarah hukum.
Sistem Peradilan Kerajaan Kediri
Sistem peradilan Kerajaan Kediri pada waktu itu memiliki tujuan untuk mencapai kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan serta kerajaan (Stutterheim, 1930:254).
Terdaptnya kepastian hukum, maka hak serta kewajiban seluruh rakyat kerajaan bisa terjamin. Keseimbangan antara hak serta kewajiban rakyat kerajaan telah membuahkan ketentraman lahir dan batin di dalam kehidupan kerajaan.
Antara aparat dan juga rakyat kerjaan turut serta dalam menghormati hukum atau darma semata-mata guna terjaganya kepentingan bersama.
Semua keputusan yang nantinya diambil dalam pengadilan didarkan atas nama Raja yang disebut Sang Amawabhumi yang berarti orang yang memiliki atau menguasai negara.
Dalam Mukadimah Darmapraja ditegaskan bahwa:
Semoga Sang Amawabhumi teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah trap. Jangan sampai orang yang bertingkah salah, luput dari tindakan. Itulah kewajiban Sang Amawabhumi, jika beliau mengharapkan kerahayuan negaranya (Moedjanto, 1994:56).
Dalam masalah pengadilan, seorang raja dibantu oleh dua orang Adidarma Dyaksa.
Seorang Adidarma Dyaksa Kasiwan serta seorang Adidarma Dyaksa Kabudan, yaitu kepala agama Siwa dan juga kepala agama Buda yang disebut dengan Sang Maharsi.
Sebab kedua agama itu adalah agama utama dalam Kerajaan Kadiri dan segala Perundang-undangan didasarkan oleh agama.
Pada saat itu, kedudukan dari Adidarma Dyaksa dapat disetarakan dengan kedudukan Hakim Tinggi.
Mereka semua dibantu oleh lima orang upapati yang berarti: pembantu di dalam pengadilan merupakan pembantu Adidarma Dyaksa.
Mereka juga dikenal sebagai Pamegat atau Sang Pamegat yang berarti Sang Pemutus alias Hakim. Baik Adidarma Dyaksa ataupun Upapati bergelar Sang Maharsi.
Pada awalnya, jumlahnya hanya lima orang, yaitu: Sang Pamegat Tirwan, Sang Pamegat Kandamuhi, Sang Pamegat Manghuri, Sang Pamegat Jambi, dan Sang Pamegat Pamotan.
Mereka semua merupakan golongan kasiwan, sebab agama siwa merupakan agama yang resmi bagi negara Kediri serta memiliki pasukan yang paling banyak.
Pada masa pemerintahan Jayabaya, jumlah upapati ditambah dua sehingga ada 7 upapati. Keduanya masuk dalam golongan Kabudan, sehingga terdapat lima Upapati Kasiwan dan juga dua Upapati Kabudan.
Perbandingan seperti itu sudah sangatlah bagus, sebab jumlah dari pemeluk agama siwa lebih banyak dibandingkan dengan agama Budha.
Dua Upapati Kabudan itu merupakan Sang Pamegat Kandangan Tuha serta Sang Pamegat Kandangan Rare.
Saat Prabu Jayabaya sedang memerintah diwilayah Mamenang, ia dihadapkan oleh pelbagai pembesar, sepert: Dyaksa, Upapati dan Para Panji yang paham tentang Undang-undang (Rassers, 1959:243).
Dalam penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Para Panji merupakan pembantu para Upapati mengenai hal dalam melakukan pengadilan di daerah-daerah.
Di dalam kesultanan Yogyakarta, pangkat panji masih dikenal sampai tahun 1940. Para Panji di dalam Kesultanan Yogya diberikan tugas pengadilan. sehingga tidak berbeda dengan Para Panji pada masa Kadiri.
Di dalam bidang Lembaga peradilan, kerajaan bertanggung jawab kepada para raja secara langsung, namun segala sengketa yang terjadi antara keluarga dan raja menggunakan peradilan khusus.
Sehingga dengan demikian, intervensi dan kontaminasi terhadapt hasil keputusan sidang dapat terhindar.
Dalam hal ini juga, sang raja memiliki staf hukum yang mumpuni, profesional serta tidak diragukan lagi akan integritas san juga kredibilitasnya.
Hukum Positif dan Budaya Simbolik
Pada masa kepempimpinan Prabu Jayabaya, Prinsip dari pelaksanaan tatanan kenegaraan dibagi menjadi dua yaitu hukum positif dan budaya simbolik.
Hukum positif adalah hukum yang berlaku berdasarkan peraturan tertulis yang telah disepakati bersama. Pada umumnya, hukum ini memiliki sifat yang praktis, teknis dan mikro.
Segala transaksi serta kegiatan kehidupan yang menyangkut jual-beli, dagang, ekonomi, politik, karier, birokrasi, organisasi, serta erkawinan diatur secara terperinci.
Tak hanya itu, dalam hukum positif, setiap pelanggaran hukum yang terjadi terdapat sanksi dan denda yang diatur secara detail.
Dalam hal penataan kehidupan masyarakat, Prabu Jayabaya juga menggunakan pendekatan budaya simbolik.
Dalam menunjang program tersebut, Prabu Jayabaya memerintah para pujangga agar menulis karya cipta dengan tujuan supaya aparat dan rakyat patuh terhadap norma susila.
Namun berbeda dengan sebelumnya, jika nantinya terdapat pelanggaran hukum, maka sanksi yang diberikan bersifat ghaib spiritual.
Pujangga yang telah diberikan tugas untuk menulis kitab spiritual itu di antaranya: Empu Sedah dan Empu Panuluh.
Empu Sedah sendiri merupakan penyusun Kakawin Baratayudha di tahun 1157 Masehi atau tahun 1079 Saka, dengan sangkalannya yang berbunyi Sangha Kuda Suddha Candrama.
Namun sayang, sebelum karayanya selesai, Empu Sedah wafat.
Dan kemudian kakawin Baratayudha dipersembahkan untuk Prabu Jayabhaya, Mapanji Jayabhaya, dan Jayabhaya Laksana atau Sri Warmeswara.
Tingkat kecerdasan masyarakat kerajaan berbeda-beda pada kala itu, sehingga hukum positif yang diciptakan oleh kalangan elit kerajaan ada yang tidak dapat dipahami oleh masyarakat awam kerajaan.
Hal itupun disadari oleh pihak Kerajaan Kediri. Oleh sebab itu, agar tercipta susasana yang harmonis, maka dibuatlah nasehat-nasehat simbolis yang bersifat mistis.
Dan pada prakteknya, nasehat yang dibuat oleh Prabu Jayabaya dipercayai oleh masyarakat.
Digunakan sebagai pengiring sekaligus pelengkap dari hukum positif, maka budaya simbolik itu mampu diterapkan untuk mencapai ketertiban sosial.
Prabu Jayabaya merupakan raja besar laksana Dewa Keadilan yang angejawantah ing madyapada. Baliau dikenal memiliki sikap yang sangat bijaksana.
Serta sikap wibawanya juga mampu membawa kehidupan masyarakat kerajaan hidup tentram dan nyaman sehingga membuat Kerajaan Kadiri mencapai masa kejayaan dan keemasan.
Selama masa pemerintahan Jayabaya, beliau memegang kendali pemerintahan dan juga tata praja, sisitem di Nusantara sungguh-sungguh diperhitungkan di dalam kawasan Asia Tenggara, Asia Tengah serta Asia Selatan.
Beliau telah sukses mewujudkan cita-cita negara yang Gedhe Obore, Padhang Jagade, Dhuwur Kukuse, Adoh Kuncarane, Ampuh Kawibawane.
Sehingga, masyarakat kerajaan pun dapat merasakan negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karta Raharja.
Pada saat itu, terdapat konsep Saptawa yang digunakan dalam program utama Prabu Jayabaya, yaitu:
- Wastra (sandang)
- Wareg (pangan)
- Wisma (papan)
- Wasis (pendidikan)
- Waras (kesehatan)
- Waskita (keruhanian)
- Wicaksana (kebijaksanaan).
Masyarakat jawa yakin, bahwa Prabu Jayabaya selalu bersikap arif serta bijaksana dan juga menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Semua golongan rakyat kerajaan mendukung sistem pemerintahannya. Refleksi kearifan warisan dari para leluhur raja Jawa menjadi referensi untuk membawa kebesaran dari bumi Nusantara.
Selain faktor kepemimpinan raja yang selalu mengutamakan kepentingan bersama, kejayaan Kerajaan Kediri juga didukung oleh kejeliannya dalam hal penyusunan Undang-undang dasar yang mengikat.
Kepatuhan rakyat kerajaan telah membawa perdamaian dan juga ketertiban di seluruh kawasan wilayah Kerajaan Kediri.
Aparat kerajaan yang terdiri atas pejabat sipil serta militer yang bekerja sesuai dengan amanat konstitusi, sehingga seluruh kebijakan kerajaan membuahkan ketentraman dan kemakmuran rakyat.
Kehidupan Politik Dan Pemerintahan Kerajaan Kediri
Mapanji Garasakan merupakan salah satu raja yang sempat memerintah Kerajaan Kediri. Namun, masa pemerintahannya tidak lama.
Kemudian, ia digantikan oleh Raja Mapanji Alanjung pada tahun 1052 hingga 1059 M. Dan selanjutnya Mapanji Alanjung digantikan oleh Sri Maharaja Samarotsaha.
Namun, pertempuran antara Kerajaan Jenggala dan Panjalu terjadi terus-menerus selama 60 tahun dan menyebabkan tidak adanya berita yang jelas tentang kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri.
Pada saat itu, ibukota Kerajaan Kediri telah berpindah dari Daha menuju Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Kediri.
Saat masa pemerintahan Raja Bameswara, beliau menggunakan lencana kerajaan yang menyerupai tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut dengan Candrakapala.
Seusai masa pemerintahan Bameswara , ia digantikan oleh Prabu Jayabaya yang dalam catatan sejarah beliau mampu mengalahkan Jenggala.
Raja-raja Kediri sejak Prabu Jayabaya memimpin adalah sebagai berikut:
Di tahun 1019 M, Airlangga dinobatkan sebagai menjadi raja Medang Kamulan. Pada waktu itu, Airlangga berusaha untuk memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan.
Setelah Airlangga berhasil membawa kebiwaaan kerajaan kembali, Raja Airlangga memindahkan pusat pemerintahan yang tadinya dari Medang Kamulan menuju Kahuripan.
Berkat kegigihannya dalam memperjuangkan Medan Kamulan, Medang Kamulan berhasil dalam mencapai puncak kejayaannya.
Menjelang akhir kepemimpinannya, Airlangga memutuskan untuk mengundurkan diri dari pemerintahan kerajaan dan menjadi seorang pertapa yang disebut Resi Gentayu. Dan pada akhirnya, Airlangga wafat pada tahun 1049 M.
Pewaris dari tahta Kerajaan Medan Kamulan pada saat itu seharusnya seorang puteri yang bernama Sri Sanggramawijaya yang juga lahir dari seorang permaisuri kerajaan.
Namun, ia lebih memilih menjadi seorang pertapa, sehingga tahta kerajaan beralih kepada putra Airlangga yang lahir di daerah Selir.
Dan untuk menghindari peperangan di dalam kerajaan, Airlangga membagi Kerajaan Kamualan menjadi dua bagian yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kotanya Kahuripan.
Serta Kerajaan Kediri atau yang disebut juga dengan Panjalu yang beribu kotakan Daha. Namun, upaya untuk menghindari peperangan tersebut mengelami kegagalan.
Hal tersebut dapat dijumpai dalam catatan sejarah di abad ke 12, dimana Kerajaan Kediri yang menjadi sebuah kerajaan subur namun tidak damai sepenuhnya karena terbayng oleh kondisi Jenggala yang semakin melemah.
Hal tersebut memunculkan kemunafikan pada setiap golongan kerajaan sehingga memicu pembenuhan terhadap pangeran dan raja-raja antar kedua negara.
Dan peperangan tersebut dimenangkan oleh Kerajaan Kediri, sebab kedua kerajaan tersebut dipersatukan kembali di bawah kepemimpinan Kerajaan Kediri.
Kehidupan Ekonomi Kerajaan Kediri
Strategi kepemimpinan yang digunakan Prabu Jayabaya memang layak diacungi jempol (Gonda, 1925 : 111).
Pada saat itu, pusat kerajaan berada di Dahanapura di bawah kaki Gunung Kelud yang dimana tanahnya memiliki kualitas yang sangat subur, sehingga sektor pertanian dan perkebunan berlimpah ruah.
Di tenagh-tenagh kotanya juga terdapat aliran sungai brantas, yang airnya sangat bening serta banyak dihidupi oleh ikan air tawar yang kaya akan protein dan juga gizi yang tinggi.
Hasil bumi dari Kerajaan Kediri tak hanya dimanfaatkan sendiri, hasil tersebut juga telah diekspor ke Kota Jenggala, dekat Surabaya dengan menggunakan perahu untuk menyusuri sungai.
Roda perekonomin dari Kerajaan Kediri memang sungguh lancar, sehingga Kerajaan Kediri disebut sebagai negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja.
Dalam kehidupan ekonomi Kerajaan Kederi juga dinyatakan bahwa perekonomian kerajaan berasal dari usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian.
Kerajaan Kediri juga terkenal sebagai kawasan penghasil beras, kapas, dan pemelihara ulat sutra. Oleh karena itu, perekonomian Kerajaan Kediri sudah dipandang cukup makmur.
Hal tersebut juga dijumpai dalam kemampuan dari pihak kerajaan dalam program memberikan penghasilan tetap kepada para pegawai atau rakyat walaupun hanya dibayar dengan menggunakan hasil bumi.
Hal itu berdasarkan keterangan yang tercantum dalam kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta.
Dan untuk wadah penghasilan kerajaan, maka diberlakukanlah pajak untuk seluruh anggota wilayah kerajaan.
Komoditas dagang Kerajaan Kediri pada saat itu yakni: beras, emas, perak, daging, dan kayu cendana. Adapun bentuk pajak berupa beras, kayu, serta palawija.
Kehidupan Agama dan Spiritual Kerajaan Kediri
Agama yang tumbuh dan berkembang sangat baik dalam Kerajaan Kediri adalah agama hindu aliran Waisnawa ( Airlangga titisan Wisnu).
Dan dalam bidang spiritualnya, Kerajaan Kediri juga sangatlah maju (Pigeaud, 1924:67). Terdapat tempat peribadatan dimana-mana.
Seseorang yang disebut dengan guru kebatinan juga memiliki tempat yang terhormat. Bahkan sang prabu juga kerap melakukan kegiatan tirakat, tapa brata dan semedi.
Prabu Jayabaya memang suka bermeditasi di dalam hutan yang sepi. Laku prihatin dengan cegah dhahar lawan guling, mengurangi makan tidur.
Hal tersebut juga menjadi salah satu rutinitas ritual sehari-hari. Maka tak heran, jika Prabu Jayabaya mengerti mengenai sadurunge winarah (Tahu sebelum terjadi) yang dapat meramal owah gingsire jaman.
Dan ramalan yang disebutkannya pun relevan untuk digunakan dalam membaca tanda-tanda jaman saat ini.
Masa pemerintahan Prabu Jayabaya sejak antara 1130 – 1157 M. Dalam masa pemerintahannya, ia tak tanggung-tanggung dalam memberikan dukungan spiritual dan material dalam hal hukum dan pemerintahannya.
Tak luput, sikapnya yang dermawan dan merakyat juga turut dikenang sepanjang masa. Karena sikap beliau yang terkenal sangat bijaksana dan adil dalam memerintah.
Dalam kehidupan beragama pun sudah tertata di dalam undang-undang. Dalam setiap bab, telah memuat pasal-pasal yang sejenis, sehingga dalam penulisannya terdapat sistematika tertentu.
Jadi dapat dipastikan bahwa pada awalnya, susunan dari undang-undang menganut pada suatu sistem.
Adapun kitab hukum per Undang-undangan yang disusun sebagai berikut ini:
- Bab I: Sama Beda Dana Denda, berisi mengenai ketentuan diplomasi, aliansi, konstribusi dan sanksi.
- Bab II: Astadusta, berisi mengenai sanksi delapan kejahatan (penipuan, pemerasan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, pembalakan, penindasan dan pembunuhan)
- Bab III: Kawula, berisi mengenai hak-hak dan kewajiban masyarakat sipil.
- Bab IV: Astacorah, berisi mengenai delapan macam penyimpangan administrasi kenegaraan.
- Bab V: Sahasa, berisi mengenai sistem pelaksanaan transaksi yang berkaitan pengadaan barang dan jasa.
- Bab VI: Adol-atuku, berisi mengenai hukum perdagangan.
- Bab VII: Gadai atau Sanda, berisi mengenai tata cara pengelolaan lembaga pegadaian.
- Bab VIII: Utang-apihutang, berisi mengenai aturan pinjam-meminjam
- Bab IX: Titipan, berisi mengenai sistem lumbung dan penyimpanan barang.
- Bab X: Pasok Tukon, berisi mengenai hukum perhelatan.
- Bab XI: Kawarangan, berisi mengenai hukum perkawinan.
- Bab XII: Paradara, berisi mengenai hukum dan sanksi tindak asusila.
- Bab XIII: Drewe kaliliran, berisi mengenai sistem pembagian warisan.
- Bab XIV: Wakparusya, berisi mengenai sanksi penghinaan dan pencemaran nama baik.
- Bab XV: Dendaparusya, berisi mengenai sanksi pelanggaran administrasi
- Bab XVI: Kagelehan, berisi mengenai sanksi kelalaian yang menyebabkan kerugian publik.
- Bab XVII: Atukaran, berisi mengenai sanksi karena menyebarkan permusuhan.
- Bab XVIII: Bumi, berisi mengenai tata cara pungutan pajak
- Bab XX: Dwilatek, berisi mengenai sanksi karena melakukan kebohongan publik.
Kehidupan Sosial Dan Budaya
Kondisi kehidupan sosial dan budaya Kerajaan Kediri pada saat itu sudah sangat teratur. Rakyat kerajaan dalam kesehariannya telah menggunakan kain sampai di bawah lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi.
Di dalam perkawisanan, pihak perempuan menerima mas kawin berupa emas. Dan orang yang sakit pada waktu itu meminta kesembuhan terhadap dewa dan Buddha.
Perhatian raja kepada rakyatnya sangatlah tinggi. Hal itu tertera dalam kitab Lubdaka yang berisi mengenai kehidupan sosial rakyat kerajaan pada masa itu.
Tinggi derajat seseorang tidak didasarkan kepada pangkat dan harta bendanya, melainkan moral serta tingkah laku seseirang itu.
Pada masa itu, raja juga sangat menghargai dan juga menghormati hak yang dimiliki oleh rakyta, sehingga rakyat kerajaan bebas melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pada masa Kerajaan Kediri, karya sastra juga berkembang dengan pesat. Sehingga banyak dari karya sastra yang dihasilkan pada waktu itu.
Bahkan, masa kepemimpinan Jayabaya juga mengutus Empu Sedah untuk mengubah bahasa dari ikitab Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa Kuno.
Namun dalam pembuatannya, Empu Sedah wafat. Sehingga, karyanya diteruskan oleh Empu Panuluh.
Dalam kita itu, nama Prabu Jayabaya sering disebut sebagai bentuk sanjungan terhadap sang raja. Kita tersebut bertuliskan angka tahun dalam bentuk candrasangkala, sangakuda suddha candrama (1079 Saka atau 1157 M).
Tak hanya itu, Empu Panuluh juga menulis untuk kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa.
Di masa pemerintahan Kameswara juga terdapat beberapa karya sastra, diantaranya sebagai berikut:
- Kitab Wertasancaya, berisi mengenai petunjuk mengenai cara untuk membuat syair yang baik. Kitab tersebut ditulis oleh Empu Tan Akung.
- Kitab Smaradhahana, merupakan sebuah kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab tersebut berisi mengenai pujian kepada sang raja sebagai seorang titisan Dewa Kama. Kitab terssebut juga menceritakan bahwa nama ibu kota kerajaannya ialah Dahana.
- Kitab Lubdaka, penulisnya adalah Empu Tan Akung. Kitab tersebut berisi mengenai kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang pada mestinya masuk neraka. Sebab pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa serta rohnya diangkat menuju surga.
Tak hanya karya sastra tersebut, ada kasya sastra lain yang juga ditulis pada masa Kerajaan Kediri berlangsung, diantaranya sebagai berikut:
- Kitab Kresnayana merupakan karangan dari Empu Triguna yang isinya menceritakan mengenai riwayat Kresna sebagai anak nakal, namun tetap dikasihi setiap orang sebab ia suka menolong dan juga sakti. Kresna pada akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
- Kitab Samanasantaka merupakan karangan dari Empu Managuna yang menceritakan mengenai kisah Bidadari Harini yang terkena kutukan dari Begawan Trenawindu.
Tak hanya berupa kitab, adapula karya sastra yang dijumpai dalam rupa relief di suatu candi. Contohnya, cerita dari Kresnayana yang dapat kita jumpai pada relief Candi Jago bersamaan dengan relief Parthayajna dan juga Kunjarakarna.
Karya di Bidang Hukum Tata Negara
Pada masa pemerintahan Prabu Jayawarsa, hiduplah Empu Triguna di daerah Panjalu pada tahun 1026 Saka atau 1104 Masehi (Poerbatjaraka, 1957: 18).
Raja Jayawarsa juga menjadi patron untuk para pujangga dalam hal mengembangkan dinamika ilmu hukum serta tata praja.
Pada saat itu, cendakiawan yang memiliki bakat diberikan fasilitas guna mengaktualisasikan idealismenya.
Pernyataan itu juga didukung yang sebenarnya telah digarisbawahi oleh pujangga terdahulu. Karya hukum dan tata praja yang telah diciptakan oleh Empu Triguna adalah Kakawin Kresnayana.
Karya hukum serta tata praja yang suda diciptakan oleh seseorang sastrawan beranama Empu Triguna dengan karyanya yang disebut Kakawin Kresnayana.
Kakawin Kresnayana tersebut berisi mengenai ilmu hukum dan juga pemerintahan. Sebagai orang yang humanis, Prabu Jayawarsa juga sangat peduli tentang kehidupan ilmu pengetahuan.
Empu Triguna juga mempunyai seorang rekan bernama Empu Manoguna. Dan keduanya merupakan pujangga istana jaman Prabu Jayawarsa di dalam Kerajaan Kadiri.
Dilihat dari nama Empu Manoguna dan Triguna terdapat bagian yang sama, yang memungkinkah bahwa mereka masih memiliki hubungan kerabat atau seperguruan.
Namun yang pasti, mereka berdua merupakan konsultan dan penasehat utama dari Prabu Jayawarsa.
Empu Manoguna juga menciptakan Karya hukum dan tata praja yang bernama akawin Sumanasantaka dengan ceritanya yang bersumber dari Kitab Raguwangsa karya dari Sang Kalisada seorang pujangga besar dari India.
Dalam perkembangannya, Kerajaan Kediri mendapatkan pengaruh yang besar dari India yang sebagian besar bersifat Hindu maupun Budha.
Hal tersebut didukung dalam ungkapan yang menggunakan bahasa Sansekerta yang juga masuk dalam kosakata ilmu pengetahuan Jawa Kuno.
Sumanasantaka berasal dari kata sumanasa = kembang dan antaka = mati. Yang berarti mati oleh kembang. Serat dari Sumanasantaka juga mengisahkan kebijaksanaan dari seorang raja dalam upaya memimpin rakyatnya.
Empu Dharmaja juga turut menciptakan karya hukum dan tata praja yang terkenal yang diberi nama Kakawin Smaradahana dan Kakawin Bomakawya.
Kakawin Smaradahana mengisahkan Batara Kamajaya yang memiliki sifat keagungan. Sedangkan, kakawin Bomakawya menurut Teeuw (1946:97) mengisahkan mengenai cara memimpin berdasarkan pada nilai keadilan serta perdamaian.
Pada masa kepemimpinan Prabu Jayabaya, Kerajaan Kediri mengalami puncak kejayaan.
Kesuksesan kerajaan juga tak lepas dari dukungan cendekiawan terkemuka Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Darmaja, Empu Triguna dan Empu Manoguna yang dijuluki sebagai jalma sulaksana.
Jalma Sulaksana merupakan manusia paripurna yang telah mendapatkan derajat oboring jagad raya.
Kesuksesesan pemerintahan Jayabaya juga terbukti dalam adanya kitab-kitab hukum dan kenegaraan sebagaimana yang telah terhimpun dalam karya-karya Kakawin Bharatayuda karangan Empu Sedah dan Empu Panuluh , Gathotkacasraya dan Hariwangsa karangan Empu Panuluh yang sampai sekarang merupakan warisan ruhani bermutu tinggi.
Masa Kejayaan Kerajaan Kediri
Seperti yang telah tuliskan.id jelaskan, puncak dari kejayaan Kerajaan Kediri ada pada saat masa pemerintahan Prabu Jayabaya.
Saat masa kepemimpinannya, wilayah kerajaan meluas hingga hampir ke segala penjuru Pulau Jawa. Tak hanya itu, pengaruh dari Kerajaan Kediri juga berhasil masuk ke dalam Pulau Sumatera yang pada ssat itu sedang dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
Kesuksesaan Kerajaan Kediri juga semakin diperkuat oleh catatan dari kronik Cina yang bernama Chou Ku-fei pada tahun 1178 M yang menceritakan mengenai Negeri yang paling kaya di masa kerajaan Kediri dengan pimpinannya Raja Sri Jayabaya.
Tak hanya daerahnya saja yang besar, namun perkembangan karya sastranya pada saat itu juga sangat mendapatkan perhatian.
Sehingga, Kerajaan Kediri semakin disegani pada kala itu.
Masa Keruntuhan Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri atau yang disebut juga sebagai Kerajaan Panjalu mulai mengalami kemunduran pada masa pemerintahan Kertajaya dengan sebutannya yaitu Dandang Gendis.
Hal tersebut juga telah dikisahkan di dalam ”Pararaton” dan ”Nagarakretagama”.
Di tahun 1222, Kertajaya mengalami perselisihan dengan kaum brahmana. Sebab, hak-hak dari kaum brahmana ditiadakan, sehingga membuat keberadaan kaum brahmana menjadi tidak aman.
Kemudian, kaum brahmana banyak yang melarikan diri dan meminta bantuan kepada Tumapel yang pada waktu itu diperintahkan oleh Ken Arok.
Hal tersebut diketahui oleh Kertajaya, sehingga ia mengirim pasukannya untuk melakukan penyerangan kepada Tumapel.
Sedangakn, Tumapel pada saat itu mendapatkan dukungan penuh dari kaum brahmana untuk melakukan serangan balik ke Kerajaan Kediri.
Kemudian, kedua pasukan kerajaan tersebut bertemu di ekat Genter , sekitar Malang pada tahun 1222 M. Dan perlawanan dimenangkan oleh pihak Ken Arok. Namun, Raja Kertajaya berhasil meloloskan diri.
Dengan demikianlah, akhir dari kekuasaan Kerajaan Kediri. Dan pada akhirnya Kerajaan Kediri menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Tumapel. Kemudian berdirilah Kerajaan Singasari dengan Ken Arok sebagai raja pertamanya.
Sumber Sejarah Kerajaan Kediri
Sumber sejarah kerajaan Kediri bisa kita telusuri dari berbagai prasasti dan juga berita asing yang dapat kita jumpai hingga sekarang, diantaranya sebagai berikut:
- Prasasti Banjaran bertuliskan angka tahun 1052 M yang menceritakan kemenangan Panjalu atas Jenggala.
- Prasasti Hantang bertuliskan angka tahun 1052 M yang menceritakan Panjalu pada masa Jayabaya.
- Prasasti Sirah Keting (1104 M), berisi cerita mengenai pemberian hadiah tanah kepada rakyat desa oleh raja Jayawarsa.
- Prasasti lain yang ditemukan di Tulungagung dan Kertosono berisi masalah keagamaan, yang dikeluarkan oleh raja Bameswara.
- Prasasti Ngantang (1135M), menceritakan raja Jayabaya telah memberikan hadiah kepada rakyat desa Ngantang sebidang tanah yang bebas pajak.
- Prasasti Jaring (1181M), dikeluarkan oelh raja Gandra yang menceritakan sejumlah nama pejabat dengan penggunaan nama hewan seperi Kebo Waruga dan Tikus Jinada.
- Prasasti Kamulan (1194M) , menceritakan waktu pemerintahan Kertajaya yang berhasil mengalahkan musuh yang telah memusuhi istana Katang-Katang.
- Candi Penataran: Candi ini merupakan candi termegah dan terluas yang ada di Jawa Timur dan berada di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar, pada ketinggian 450 meter dpl. Di perkirakan, candi ini telah dibangun pada masa pemerintahan Raja Srengga sekitar tahun 1200 M dan berlanjut hingga masa pemerintahan Wikramawardhana yang merupakan raja dari Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415.
- Candi Gurah : Candi Gurah berada di kecamatan di Kediri, Jawa Timur. Di tahun 1957 juga pernah ditemukan sebuah candi yang dinamakan Candi Gurah yang jaraknya kurang lebih 2 km dari Situs Tondowongso. Namun sayang, akibat kekurangan dana, candi tersebut dikubur kembali.
- Candi Tondowongso: merupakan situs purbakala yang telah ditemukan pada awal tahun 2007 di Dusun Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs ini memiliki luas lebih dari satu hektare dan dianggap sebagai penemuan terbesar untuk periode klasik sejarah Indonesia dalam 30 tahun terakhir (semenjak penemuan di Kompleks Percandian Batujaya). Dan pada kenyataannya di tahun 1957, seorang profesor yang bernama Prof.Soekmono juga pernah menemukan satu arca dilokasi ini. Awal penemuan situs ini dari penemuan sejumlah arca oleh sejumlah perajin batu bata setempat. Situs ini dipercayai merupakan peninggalan masa Kerajaan Kediri pada awal abad XI, waktu awal perpindahan pusat politik dari kawasan Jawa Tengah ke Jawa Timur berdasarkan bentuk dan gaya tatanan arcanya. Selama ini, Kerajaan Kediri hanya dikenal beradasarkan karya sastranya saja, namun belum banyak diketahui peninggalannya baik dalam bentuk bangunan atau hasil pahatan.
- Arca Buddha Vajrasattva: Arca Buddha Vajrasattva berasa dari zaman Kerajaan Kediri pada abad X/XI. Serta sekarang menjadi Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
- Prasasti Galunggung: Prasasti Galunggung mempunyai tinggi sekitar 160 cm, dengan lebar atas 80 cm, dan lebar bawah sepanjang 75 cm. Prasasti ini berada di Rejotangan, Tulungagung. Prasasti ini dikelilingi oleh tulisan yang menggunakan huruf Jawa kuno dengan penulisan yang sangat rapi. Jumlah total tulisan terdapat 20 baris yang masih dapat dilihat dengan jelas. Sementara di sisi lain prasasti, beberapa bagian hurufnya telah hilang lantaran rusak dimakan oleh usia. Di sisi depan, terdapat sebuah lambang dengan bentuk lingkaran. Di tengah lingkaran tersebut terdapat gambar persegi panjang dengan beberapa logo. Tertulis juga angka 1123 C di salah satu bagian prasasti.
- Candi Tuban: Di temuakan pada tahun 1967, saat gelombang tragedi 1965 yang melanda Tulungagung. Aksi Ikonoklastik, yakni aksi menghancurkan ikon-ikon kebudayaan serta benda yang dianggap berhala terjadi. Candi Mirigambar luput dari pengrusakan sebaba terdapat petinggi desa yang melarang untuk merusak candi ini serta kawasan candi yang dianggap angker.Massa pun beralih menuju Candi Tuban, penamaan candi letaknya yang ada di Dukuh Tuban, Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten Tulungagung. Candi ini berada di sekitar 500 meter dari lokasi Candi Mirigambar. Namun, Candi Tuban hanya tersisa kaki candinya saja. Seusai dirusak, candi ini kemudian dipendam dan saat ini pada bagian atas candi telah berdiri kandang kambing, ayam dan bebek. Menurut pendapat dari Pak Suyoto, jika warga setempat mau menggalinya, maka kira-kira setengah hingga satu meter dari dalam tanah, pondasi Candi Tuban bisa terungkap dan relatif masih utuh. Pengrusakan atas Candi Tuban juga didasarkan pada legenda bahwa Candi Tuban yang mengisahkan tokoh laki-laki bernama Aryo Damar, yang di dalam legenda Angling Dharma meneybutkan jika tokoh tersebut dihancurkan, maka dapat dianggap sebagai sebuah kemenangan.
- Prasasti Panumbangan: Di tanggal 2 Agustus tahun 1120 Maharaja Bameswara membuat prasasti Panumbangan mengenai permohonan penduduk dari desa Panumbangan supaya piagam mereka yang tertulis di atas daun lontar kemudian ditulis kembali di atas batu. Prasasti itu berisi mengenai penetapan desa Panumbangan sebagai sima swatantra pada raja sebelumnya yang telah dimakamkan di Gajapada. Raja sebelumnya yang disebutkan dalam prasasti ini diyakini adalah Sri Jayawarsa.
- Prasasti Talan: Prasasti Talan atau juga disebut Prasasti Munggut berada di Dusun Gurit, Kabupaten Blitar. Prasasti ini bertulisakan angka tahun 1058 Saka atau tahun 1136 Masehi. Cap prasasti ini merupakan bentuk dari Garudhamukalancanadi sisi atas prasasti dalam badan manusia dengan bentuk kepala seperti burung garuda serta bersayap. Isi prasasti ini bersamaan dengan anugerah sima kepada Desa Talan yang juga termasuk ke dalam wilayah Panumbangan memperlihatkan sebuah prasasti di atas daun lontar dengan cap kerajaan Garudamukha yang sudah mereka dapatkan dari Bhatara Guru di tahun 961 Saka tepatnya pada tanggal 27 Januari 1040 Masehi serta menetapkan daerah Desa Talan sebagai sima yang bebas dari kewajiban iuran pajak sehingga mereka memohon supaya prasasti tersebut dapat dipindahkan diatas batu dengan cap kerajaan Narasingha. Raja Jayabaya kemudian mengabulkan permintaan rakyat Talan sebab kesetiaannya terhadap raja serta menambah anugerah berupa berbagai hak istimewa.
Peninggalan Kitab Kerajaan Kediri
Seperti yang kita ketahui, Pada masa Kerajaan Kediri berlangusng, perkembangan karya sastra sangatlah pesat, sehingga terdapat banyak sekali karya sastra yang dihasilkan. Karya sastra peninggalan Kerajaan Kediri diantaranya sebagai berikut:
- Kitab Wertasancaya karangan dari Empu Tan Akung yang berisi mengani petunjuk mengenai cara pembuatan syair yang baik.
- Kitab Smaradhahana merupakan gubahan oleh Empu Dharmaja yang berisi pujian untuk raja sebagai titisan Dewa Kama. Kitab ini juga menjelaskan mengenai nama ibu kota kerajaannya ialah Dahana.
- Kitab Lubdaka merupakan karangan Empu Tan Akung yang berisi mengenai kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang semestinya masuk neraka. Sebab pemujaannya yang istimewa, ia kemudian ditolong oleh dewa serta rohnya diangkat ke surga.
- Kitab Kresnayana merupakan karangan dari Empu Triguna yang berisi mengenai riwayat Kresna sebagai anak nakal, namun ia dikasihi semua orang sebab kerap menolong dan juga memiliki kesaktian.
- Kitab Samanasantaka merupakan karangan dari Empu Monaguna yang menceritakan Bidadari Harini yang terkenal kepada Begawan Trenawindu.
- Kitab Baharatayuda meruapakan gubahan dari Empu Sedah dan juga Empu Panuluh.
- Kitab Gatotkacasraya dan Kitab Hariwangsa yang merupakan gubahan dari Empu Panuluh.
Rangkuman
Kerajaan Kediri atau yang dikenal juga sebagai Kerajaan Panjalu adalah kerajaan hasil bagi dari kerajaan Kahuripan yang terletak di Jawa Timur.
Puncak kejayaan Kerajaan Kediri ada pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya yang terkenal akan ilmu serta keahliannya dalam hal membaca masa depan atau meramal.
Tak hanya itu, beliau juga pandai dalam mambawa kemakmuaran rakyatnya dengan mengelola serta memimpin kerajaan dengan sangat baik.
Pada masa Kerajaan Kediri berlangsung, karya sastra juga berkembang dengan sangat pesat. Beberapa peninggalan dari karya sastranya seperti: kitab Bharatayudha, Hariwangsa hingga Gatotkacasraya.
Dan pada saat itu, Kerajaan Kediri juga menjadi kerajaan yang makmur secara ekonomi dengan sektor utamanya yakni pertanian, perdagangan, dan juga peternakan.
Kepemimpinan dari Jayabaya juga membawa kemakmuran rakyatnya menjadi semakin baik, tercukupi dalam bidang sandang, pangan dan papan.
Tak hanya itu saja, beliau juga telah menerapkan ketertiban dengan dengan hukum yang jelas serta mengikat untuk seluruh rakyat kerajaan.
Setelah masa pemerintahan Jayabaya berakhir, Kerajaan Kediri mulai mengalami kemunduran pada masa kepemimpinan Kertajaya di tahun 1222 M.
Hal itu terjadi karena kebijakan dari Kertajaya yang menghapuskan hak-hak dari kaum brahmana yang membuat keberadaan kaum brahmana di wilayah Kerajaan Kediri menjadi tidak aman.
Akhirnya kaum brahmana banyak yang kabur menuju Tumapel yang pada saat itu sedang dipimpin oleh Ken Arok.
Dan pada saat itu pula, Ken Arok sedang gencar-gencarnya dalam melakukan ekspansionis untuk mendirikan sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Singasari.
Peperangan terjadi antara Ken Arok dan Kerajaan Kediri. Dan peperangan tersebut dimenangkan oleh pihak Ken Arok.
Namun demikian, keberadaan dari kerajaan Kediri adalah sebuah bukti eksistensi serta kemakmuan dari salah satu kerajaan di Jawa Timur yang merupakan penerus dinasti Isyana.
Dengan menggunakan sistem pemerintahan, birokrasi, ekonomi, sosial, budaya, dan juga agama yang telah mengalami kemajuan secara gemilang.
Itulah ulasan mengenai Kerajaan Kediri, semoga dapat membantu kegiatan belajar kalian semua. Terima kasih telah berkunjung.
The post Kerajaan Kediri appeared first on Tuliskan.
ARTIKEL PILIHAN PEMBACA :
Comments
Post a Comment